Makalah Implementasi Nilai-nilai Pendidikan Karakter Dalam Karya Sastra Sebagai Pengembangan Pembelajaran Sastra Di SMP

IMPLEMENTASI NILAI-NILAI PENDIDIKAN KARAKTER DALAM KARYA SASTRA SEBAGAI PENGEMBANGAN PEMBELAJARAN SASTRA DI SMP






MAKALAH

Diajukan untuk Memenuhi Tugas 
Mata Kuliah Seminar Pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia


oleh:
1. M. JAFARUL AFAN 1601040043
2. INDRI WAHYUNI 1601040044



PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
2019


I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan karakter itu sebenarnya bukan merupakan suatu hal yang baru bagi masyarakat Indonseia. Bahkan awal kemerdekaan, masa orde baru, masa orde lama, dan kini orde reformasi telah banyak langkah-langkah yang sudah dilakukan dalam rangka pendidikan karakter dengan nama dan bentuk yang berbeda-beda. Dalam UU tentang pendidikan nasional yang pertama kali, ialah UU 1964 yang berlaku tahun 1947 hingga UU Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003 yang terakhir pendidikan karakter telah ada, namun belum menjadi fokus utama pendidikan.
Dunia pendidikan diharapkan sebagai motor penggerak untuk memfasilitasi pembangunan karakter sehingga anggota masyarakat mempunyai kesadaran kehidupan berbangsa dan bernegara yang harmonis dan demokratis dengan tetap memperhatikan norma-norma di masyarakat yang telah menjadi kesepakatan bersama. Pembangunan karakter dan pendidikan karakter menjadi suatu keharusan karena pendidikan tidak hanya menjadikan peserta didik menjadi cerdas, akan tetapi juga mempunyai budi pekerti dan sopan santun sehingga keberadannya sebagai anggota masyarakat menjadi bermakna baik bagi dirinya maupun orang lain.
Nilai-nilai pendidikan karakter dapat ditemukan pada karya sastra.  Karya sastra dapat dijadikan sumber belajar untuk dijadikan bahan ajar. Misalnya saja pada cerpen yang dapat diangkat mengenai kehidupan tokoh utama dan diterapkan di dalam pendidikan. Penulis mengangkat judul makalah Implementasi Nilai-nilai Pendidikan Karakter dalam Karya Sastra Sebagai Pengembangan Pembelajaran Sastra di SMP karena pembelajaran sastra yang dilakukan oleh guru begitu monoton dan terlalu teoritis. Penulis beranggapan bahwa nilai-nilai karakter dalam karya sastra dapat dijadikan bahan ajar guna mengembangkan pembelajaran Sastra khususnya di tingkat SMP.

B. Rumusan Masalah.
Dari latar belakang di atas, dapat ditarik rumusan masalah bagaimana implementasi nilai-nilai pendidikan karakter yang ada pada karya sastra dapat diimplementasikan pada pembelajaran sastra.

C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui implementasi nilai-nilai pendidikan karakter yang ada pada karya sastra dapat diimplementasikan pada pembelajaran sastra.

II. KAJIAN PUSTAKA
A. Penelitian Relevan
Penelitian mengenai implementasi nilai-nilai pendidikan karakter pernah dilakukan oleh Ningsih dengan judul penelitiannya “Implementasi Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia di MAN Godean Yogyakarta”. Bedanya dengan makalah yang penulis susun yakni sumber datanya. Penelitian terdahulu menggunakan sumber data pembelajaran bahasa Indonesia di MAN Godean Yogyakarta, sedangkan Penulis menggunakan sumber data sastra sebagai pengembangan bahan ajar.
Selain itu, Penelitian yang berkaitan dengan nilai-nilai pendidikan dalam karya sastra pernah dilakukan oleh Aziz dengan judul penelitian “Analisis Nilai-nilai Pendidikan dalam Novel Negeri 5 Menara Karya A. Fuadi” bedanya dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis yakni pada sumber datanya dan tujuannya. Penelitian terdahulu menggunakan sumber data Novel Negeri 5 Menara, sedangkan makalah yang disusun penulis menggunakan sumber data karya sastra sebagai pengembangan bahan ajar.

B. Landasan Teori

1. Hakikat Nilai Pendidikan Karakter
a. Pengertian Pendidikan Karakter
Dalam dekade terakhir Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), nilai pendidikan karakter diinseminasikan ke dalam kurikulum tersebut. Meski tidak terlalu lama, pengembangan pendidikan karakter terus dilakukan,khususnya dalam kurikulum 2013. Secara definitif, Albertus (2010: 3) mengungkapkan bahwa pendidikan karakter terdiri dari dua kata yang apabila dipisahkan memiliki makna masing-masing. Pendidikan selalu berkaitan dengan hubungan sosial manusia sejak lahir tidak dapat hidup sendiri tetapi membutuhkan orang lain. Hal ini berbeda dengan karakter yang lebih bersifat subjektif. Hal ini karena karakter berkaitan dengan struktur antropologis manusia dan tindakannya dalam memaknai kebebasan. Mengenai karakter, Samani dan Hariyanto (2011: 43) menyampaikan bahwa karakter dapat dimaknai sebagai nilai dasar yang membangun pribadi seseorang, terbentuk baik karena pengaruh hereditas maupun pengaruh lingkungan, yang membedakannya dengan orang lain, serta diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Pengertian Samani dan Hariyanto ini paling tidak menjelaskan bagaimana karakter bukan sesuatu yang dibuat-buat, namun karakter merupakan cerminan pribadi dalam tingkah laku. Tingkah laku ini dapat dibentuk baik oleh hereditas maupun pengaruh lingkungan. Sehingga pendidikan karakter merupakan upaya mengajarkan seseorang yang semula tidak memiliki perilaku yang baik, lantas dapat memiliki prilaku yang baik. Prilaku yang baik ini dibentuk oleh pengaruh lingkungan yang ada dalam pendidikan.
Secarah lebih jelas, Samani dan Hariyanto (2011: 45) menyebut pendidikan karakter adalah proses pemberian tuntunan kepada peserta didik untuk menjadi manusia seutuhnya yang berkarakter dalam dimensi hati, pikiran, raga, serta rasa dan karsa. Pendidikan karakter dapat pula dimaknai sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak, yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik, dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan seharidiari dengan sepenuh hati.
Dari pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bah  wa pendidikan karakter merupakan upaya penanaman nilai-nilai yang dipengaruhi oleh faktor hereditas dan lingkungan. Pendidikan karakter berhasil jika terdapat perubahan dalam tingkah laku dari buruk menjadi baik. Hal tersebut dapat dilihat dari dimensi hati, pikiran, raga, serta rasa dan karsa.

b. Sikap Pendidikan Karakter
Menurut Kemendiknas yangdikutip Rohman (2012: 237-239), terdapat delapan belas sikap yang terdapat dalam karakter kebangsaan. Sikap itu terdiri dari :
1) Religius, yaitu sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelasksanaan ibadah agama lain, dan selalu hidup rukun dengan pemeluk agama lain.
2) Jujur, yaitu perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.
3) Toleransi, yaitu sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya.
4) Disiplin: Tindakan yang menunjukan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan:
5) Kerja Keras : Perilaku yang menunjukan upaya sungguh sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya;
6) Kreatif : Berfikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki;
7) Mandiri: Sikap dan prilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas;
8) Demokratis : Cara berfikir, bersikap dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain;
9) Rasa Ingin Tahu : Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajari, dilihat dan didengar.
10) Semangat Kebangsaan: Cara berfikir, bertindak, dan berwawasan yangmenempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya;
11) Cinta Tanah Air: Cara berfikir, bersikap dan berbuat yang menunjukan rasa kesetiaan, kepedulian dan penghargaan yang tinggi terhadap bangsa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa;
12) Menghargai Prestasi : Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain;
13) Bersahabat/Komunikatif: Tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan berkerja sama dengan orang lain;
14) Cinta Damai : Sikap, perkataan dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadirian dirinya;
15) Gemar Membaca : Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya;
16) Peduli Lingkungan: Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam yang ada di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi;
17) Peduli Sosial : Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.
18) Tanggung-Jawab: Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap dirinya sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.

2. Hakikat Karya Sastra
a. Pengertian Karya Sastra
Sumardjo & Saini (1997: 3-4) menyatakan bahwa sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, keyakinan dalam suatu bentuk gambaran konkret yang membangkitkan pesona dengan alat bahasa. Sehingga sastra memiliki unsur-unsur berupa pikiran, pengalaman, ide, perasaan, semangat, kepercayaan (keyakinan), ekspresi atau ungkapan, bentuk dan bahasa.
Menurut Saryono (2009: 16-17) sastra bukan sekedar artefak (barang mati), tetapi sastra merupakan sosok yang hidup. Sebagai sosok yang hidup, sastra berkembang dengan dinamis menyertai sosok-sosok lainnya, seperti politik, ekonomi, kesenian, dan kebudayaan.
b. Jenis-jenis Karya Sastra
Sumardjo dan Saini (1997: 18-19) membagi sastra menjadi dua bagian yakni Sastra Imajinatif dan Sastra Non- imajinatif. Sastra imajinatif berupa puisi, prosa, dan drama. Sedangkan non-imajinatif berupa kritik, otobiografi, sejarah, surat, catatan harian, esai, dan memoar.
Jenis karya sastra yang paling banyak dikenal oleh masyarakat Indonesia adalah Puisi, Cerpen, dan Novel. Ketiga karya sastra ini sangat digemari oleh semua kalangan, baik muda, dewasa, hingga yang sudah tua sangat suka dengan karya sastra ini.
Karya sastra sering dijadikan sebagai bahan ajar oleh guru. Seorang guru akan menggunakan bahan ajar dari karya sastra untuk menyampaikan materi yang terkandung di dalam karya sastra. Karya yang paling banyak dijadikan sumber bahan ajar adalah puisi, cerpen, dan novel. Ketiga karya sastra ini sangat relevan dengan pembelajaran. Terlebih lagi kurikulum pendidikan Indonesia yang juga menyisipkan materi sastra pada mata pelajaran bahasa Indonesia.

3. Hakikat Pembelajaran
Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar (UU No. 20 tahun 2003)
Belajar merupakan tindakan dan perilaku siswa yang kompleks. Sebagai tindakan, maka belajar hanya dialami oleh siswa sendiri. Siswa adalah penentu terjadinya proses belajar. Proses belajar terjadi berkat siswa memperoleh sesuatu yang ada di lingkungan sekitar (Dimyati dan Mudjiono, 2006: 7).
Hamalik (2004: 27) menyatakan bahwa belajar adalah modifikasi atau
memperteguh kelakuan melalui pengalaman. Menurut pengertian ini, belajar merupakan suatu proses, suatu kegiatan, dan bukan suatu hasil atau tujuan. Belajar bukan hanya mengingat, akan tetapi lebih luas dari itu, yakni mengalami. Hasil belajar bukan suatu penguasaan hasil latihan melainkan pengubahan kelakuan.

4. Implementasi Nilai-nilai Pendidikan Karakter Sebagai Pengembangan Pembelajaran Sastra
Nilai-nilai pendidikan karakter juga ditekankan oleh pemerintah kepada sekolah untuk diimplementasikan dalam pembelajaran, yang tentunya bukan perkara yang mudah untuk mewujudkannya. Kesulitan ini lebih banyak disebabkan oleh pesimisme dan apatisme yang berlatar belakang dari kenyataan bahwa sekolah bukanlah satu-satunya pihak yang mempengaruhi perkembangan siswa.
Ketika siswa masuk sekolah, ia sudah memiliki karakter yang terbentuk selama masa prasekolah, baik di rumah atau lingkungan tempat tinggal. Dalam dirinya sudah ada semacam "fondasi" bangunan karakter. Dalam hal ini sekolah harus melakukan perbaikan jika ada yang tidak sesuai dengan 18 nilai di atas.
Proses pembentukan karakter selanjutnya di sekolah akan saling tarik-menarik dengan pembentukan karakter lain dari  luar sekolah, yang tidak jaranag justru bertentangan dengan nilai-nilai di sekolah. Sebab siswa tidak hidup di dalam ruang hampa, tetapi berada dalam lingkungan yang mempengaruhinya.
Karena itu dalam implementasi pendidikan karakter di sekolah harus dilakukan sedemikian rupa sehingga siswa mampu membangun karakter dirinya menuju nilai-nilai yag diharapkan, secara bertahap tapi pasti. Pembentukan karakter melalui pembiasaan rutinitas yang menyenangkan kiranya merupakan alternatif yang baik.
Dalam hal ini sekolah harus mengembangkan strategi pendidikan karakter yang tepat. Setidaknya ada 3 strategi yang dapat dilakukan sekolah dalam pendidikan karakter. Pertama, pendidikan karakter diintegrasikan dalam kegiatan belajar mengajar (KBM) di kelas. Nilai-nilai karakter disisipkan dalam pembelajaran, baik secara tersirat maupun tersurat.
Pendidikan karakter juga dapat diintegrasikan dalam berbagai kegiatan ekstrakurikuler pengambangan minat, bakat, dan potensi siswa. Dengan cara ini diharapkan siswa dapat menikmati pembiasaan karakter yang baik secara menyenangkan.
Pendidikan karakter juga dilakukan dengan pembiasaan perilaku dalam kehidupan sehari-hari di sekolah. Kebiasaan mengucapkan salam kepada guru, tamu, dan teman, merupakan kebiasaan yang baik. Begitu pula kebiasaan membuang sampah pada tempatnya, kebiasaan hidup bersih dan sehat. Iklim demokrasi dan egaliter, prinsip reward dan punishment, merit system, merupakan contoh yang baik untuk ditiru siswa. Dan banyak lagi strategi lainnya.
Semua strategi itu akan berjalan jika para pendidik di sekolah menjadi contoh dan pelindung yang baik bagi penerpan karakter yang diharapkan. Guru harus menjadi panutan dan teladan yang sesungguhnya bagi siswa, dalam setiap aspek perilakunya..

III. PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan karakter yang ada dalam karya sastra mampu diimplementasikan dalam pembelajaran. Selain itu dapat dijadikan pengembangan bahan ajar bagi guru guna memudahkan proses pembelajaran.
B. Saran
Guna kepentingan penelitian, makalah ini dapat dijadikan penelitian lebih lanjut. Semoga dapat menjadikan referensi bagi pembaca.


DAFTAR PUSTAKA

Albertus, Doni Koesoema. 2010. Pendidikan Karakter: Strategi Membangun Anak di Zaman Global. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.

Dimyati, dan Mudjiono. 2006. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.

Hamalik, Oemar. 2004. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara.

Rohman, Muhammad. 2012. Kurikulum Berkarakter. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher.

Samani, Muchlas dan Hariyanto M.S. 2011. Konsep dan Model Pendidikan Karakter. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Ningsih, Ika Pujiastutia. 2014. Implementasi Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia di MAN Godean Yogyakarta. Universitas Negeri Yogyakarta.

Aziz, Anwar. 2012. Analisis Nilai-nilai Pendidikan dalam Novel Negeri 5 Menara Karya A. Fuadi. Universitas Negeri Yogyakarta.

Saryono. (2009). Pengantar Apresiasi Sastra. Malang: Universitas Negeri Malang.

Sumardjo, Jacob dan Saini K.M. 1997. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: Gramedia.



Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url