Artikel Opini Perpustakaan dan Kehidupan Masyarakat Milenial

Eksistensi Perpustakaan di Tengah Masyarakat Milenial

Oleh Muhamad Jafarull Afan

Buku di perpustakaan

Perpustakaan merupakan gudangnya ilmu pengetahuan. Di dalamnya tersimpan sumber ilmu seperti buku-buku, kaset CD, majalah, hingga karya ilmiah. Sumber ilmu pengetahuan ini dapat kita dapatkan dengan mudah dan murah hanya dengan cara berkunjung ke perpustakaan. Mengunjungi perpustakaan bagi sebagian besar orang mungkin akan terasa membosankan dan tidak mengasyikkan. Perpustakaan identik dengan ruangan, buku, tempat membaca, dan pustakawan yang dari dulu seperti itu-itu saja. Tidak ada sesuatu yang  menarik dan untuk mendorong masyarakat untuk mengunjungi perpustakaan. 

Anggapan seperti ini tentu menjadi PR bagi pustakawan untuk dapat mengembangkan perpustakaan. Sebagai contoh Perpustakaan Grhatama Jogja yang pernah saya kunjungi. Di sana menyediakan Gasebo, Ruang bermain bagi anak, Bioskop 6 dimensi, ruang digital dan masih banyak lagi fasilitas untuk menarik pemustaka. Fasilitas seperti ini memang harus dicoba di perpustakaan-perpustakaan lain agar dapat menggaet masyarakat berkunjung dan membaca. Jika masyarakat banyak yang berkunjung ke perpustakaan, maka peran perpustakaan sebagai penggiat literasi masyarakat dapat diwujudkan.

Pengembangan perpustakaan senantiasa dilakukan agar dapat sesuai dengan perkembangan zaman. Apalagi sekarang era teknologi, kehidupan manusia bergantung besar pada teknologi. Di era teknologi seperti sekarang ini, perpustakaan juga berusaha memenuhi layanan kepada masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan adanya layanan online atau perpustakaan dalam bentuk aplikasi android. Pembuatan aplikasi Android dilakukan guna menjaring generasi milenial yang tak bisa lepas dari gawai. Era milenial sekarang ini juga lebih cenderung mager untuk bepergian ke perpustakaan. Maka dari itu, perpustakaan selalu berupaya mengupgrade agar mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat termasuk masyarakat milenial. 

Perpustakaan di Era Milenial

Perpustakaan kini dihadapkan dengan era digital dan teknologi. Tantangan baru untuk mampu bertahan dan eksis di kalangan milenial. Peradaban yang sekarang ini cenderung lebih suka dengan yang simpel dan tidak ribet. Bahkan untuk mencari referensi saja kebanyakan mengandalkan gawai dari pada mencari buku dan harus datang ke perpustakaan. Hal ini menjadi tantangan baru bagi perpustakaan untuk dapat menjangkau masyarakat milenial serta mampu bertahan di tengah guncangan teknologi yang makin canggih. 

Berkembangnya teknologi tidak menjadi penghalang bagi perpustakaan untuk tetap eksis di tengah kaum milenial. Terobosan baru terus dikembangkan, sistem layanan juga semakin mempermudah pemustaka. Kini pemustaka dapat dengan mudah mencari atau bahkan meminjam koleksi perpustakaan tanpa perlu datang ke perpustakaan. Pemustaka dimanjakan dengan layanan sirkulasi dan referensi yang dapat diakses melalui aplikasi android. Bentuk buku yang dipinjam juga berbentuk soft file atau e-book, sehingga memudahkan pengguna untuk membaca kapanpun dan di manapun.
 
Buku-buku lama yang usianya sudah ratusan tahun turut direstorasi untuk menjaga keutuhan informasi. Restorasi dilakukan dengan dua cara, yaitu perbaikan buku secara fisik dan diubah menjadi bentuk soft file. Restorasi secara fisik dimaksudkan agar koleksi tetap terjaga dan awet hingga generasi cucu cicit bangsa Indonesia dapat membacanya. Restorasi dengan mengubah bentuk menjadi soft file dimaksudkan agar koleksi dapat terjaga dan mampu bertahan hingga ratusan ribu tahun, karena bentuk soft file dapat bertahan sampai kapan pun asalkan tidak terhapus.

Upaya perpustakaan mempertahankan koleksi lama merupakan salah satu wujud menjaga peradaban bangsa Indonesia. Peradaban bangsa akan tersimpan dengan rapi di perpustakaan. Nantinya anak cucu bangsa Indonesia dapat mengetahui sejarah bangsa melalui buku. Meskipun kini era teknologi merajai dunia dan manusia bergantung penuh pada teknologi, perpustakaan turut menyesuaikan diri dengan mengembangkan dirinya namun tidak melupakan menjaga bentuk fisiknya. Bentuk fisik perpustakaan terus dibuat senyaman mungkin agar pemustaka betah dan berkunjung lagi ke perpustakaan. 

Perkembangan perpustakaan yang selalu relevan dengan peradaban modern, tentu dapat menjadi daya tarik bagi kaum milenial. Mata bukan hanya disajikan rak-rak buku yang membosankan, tetapi juga pemandangan tata kelola fasilitas yang menunjang. Bagi generasi milenial yang mager untuk datang ke perpustakaan, kini dapat mengunjungi dengan bentuk digital. Perpustakaan saat ini bukan hanya perpustakaan yang menampilkan meja baca dan buku saja, tetapi sudah terlihat indah dan nyaman untuk dikunjungi. Bahkan dengan era digital seperti sekarang ini, bisa dibilang perpustakaan memberikan layanan dor to dor melalui gawai pemustaka. Pemustaka tinggal mengaksesnya dengan cepat kapan pun dan dimana pun.

Budaya Bangsa di Era Milenial

Indonesia memiliki ragam budaya yang harus dilestarikan agar tidak punah. Upaya melestarikan kebudayaan bangsa Indonesia dapat dilakukan dengan berbagai cara, terus menjaga budaya di kalangan masyarakat dan menyimpan budaya itu sendiri. Menyimpan budaya bukan berarti budaya yang ada disimpan dalam sebuah ruangan. Menyimpan budaya dapat dilakukan dengan cara menyimpan pengetahuan mengenai budaya dalam sebuah buku. 

Perpustakaan turut berkomitmen menjaga dan menyimpan aset budaya bangsa. Melalui ilmu pengetahuan tentang budaya yang ada di Indonesia, maka anak cucu bangsa Indonesia nantinya masih dapat melihat perkembangan budaya dari masa ke masa. Meskipun budaya yang dimiliki kini kurang mendapat perhatian, tetapi dengan membukukan budaya tersebut dapat mendorong generasi milenial untuk ikut berperan aktif dalam melestarikan budaya Indonesia. Apalagi sekarang jamannya teknologi, semua bergantung pada teknologi. Rata-rata masyarakat sekarang lebih asyik dengan gawainya dari pada harus keluar rumah ataupun menyempatkan diri untuk mempelajari budaya bangsa. 

Sikap seperti ini harus dihindari oleh generasi bangsa Indonesia. Generasi bangsa harus memiliki sikap peduli terhadap budayanya. Minimal peduli dengan budaya di daerah masing-masing. Sebagai contoh budaya kuda lumping yang kini mulai tergerus zaman. Paling tidak kita apresiasi dan datang untuk menyaksikan seperti apa itu kuda lumping. Kita mempelajari bagaimana orang-orang menari dengan kuda lumping. Dengan demikian, maka kita sebagai generasi milenial turut serta menjaga budaya bangsa. 

Lalu bagaimana dengan mereka yang tinggal di daerah yang mungkin budayanya sudah tidak muncul di permukaan? Solusi terbaik adalah mengunjungi perpustakaan untuk membaca buku-buku sejarah dan budaya yang ada di daerah masing-masing. Membaca buku mengenai budaya daerah akan menambah wawasan dan membuka pikiran kita untuk tetap menjaga warisan leluhur bangsa Indonesia. Jika bukan kita sendiri yang menjaganya, lalu siapa lagi?
 
Era milenial sudah dipermudah dengan teknologi. Ilmu pengetahuan dapat diakses dengan mudah dan cepat. Tugas generasi tua hanya mengantarkan generasi milenial menuju peradaban bangsa yang lebih makmur. Era milenial sekarang ini harus ditanamkan rasa cinta terhadap bangsa Indonesia dan budaya. Hal ini demi menjaga keutuhan budaya dan bangsa Indonesia agar tidak punah. Peradaban yang lebih maju akan menjadikan peralihan pementasan budaya Indonesia. Bisa jadi kedepannya banyak putra-putri bangsa yang mengangkat budaya lokal melalui channel YouTube ataupun blog. Hal ini perlu dilakukan memang, mengingat era sekarang lebih bergantung pada teknologi dan generasi sekarang kurang mengenal budayanya sendiri. Terlebih lagi masyarakat sekarang sangat mager untuk meluangkan waktu menyaksikan pementasan budaya secara langsung. 
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url