Sejarah Sistem Pmerintahan Indonesia pdf
Sistem Pmerintahan Indonesia
Sebuah negara pasti memiliki sistem pemerintahannya sendiri. Indonesia juga memiliki sistem pemerintahan yang berjalan sejak 1945. lalu seperti apa si perjalanan sistem pmerintahan indonesia ini? yuk simak ulasannya berikut ini.
![]() |
sistem pemerintahan indonesia |
sistem Pemerintahan Indonesia (18 Agustus 1945-27 Desember 1949)
Satu hari sesudah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan oleh Ir. Soekarno, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang terdiri atas Soekarno, Hatta, Rajiman, Supomo, Suroso, Sutarji, Wahid Hasyim, Ki Bagus Hadikusumo, Oto Iskandar, serta Ki hadjar Dewantara merumuskan sistem pemerintahan Indonesia.
Dengan keberagaman suku, budaya dan tradisi yang berada di Indonesia, penetapan dan legitimasi sistem pemerintahan Indonesia berjalan lumayan lama serta benar-benar seru, gejolak pertimbangan dari beberapa figur pendiri bangsa sangat menguras tenaga dan waktu. Ki Bagus Hadikusumo contohnya yang mengusahakan tetap ada nilai islam dalam nuansa sistem pemerintahan Indonesia dan wujud pemerintahan Indonesia. Tak sama dengan Moh. Hatta, menurut Ki Bagus Hadikusumo Moh. Hatta sangat liberal (Syafiie, 2013:298).
Dari hasil rapat PPKI ini selanjutnya memutuskan UUD 1945 jadi konstitusi didalamnya terdapat segala hal sebagai landasan Negara Republik Indonesia dan tujuan Negara Republik Indonesia. Disamping itu hasil rapat memutuskan jika sistem pemerintahan presidensial yang paling pas dan berkaitan dengan kondisi dan situasi di Indonesia.
Rasionalisasi kuat yang dikatakan Soekarno pada waktu itu ialah jika Indonesia membutuhkan keberadaan dan pernyataan dari beberapa negara lain, karena itu dibutuhkan kestabilan ekonomi dan politik untuk negara baru. Untuk menjawab hal tersebut, karena itu mekanisme presidensial dipandang pas sebab berbeda sekali mengutamakan ke nilai kapitalisme, dan sosialisme, tetapi ada pada kesetimbangan antara ke-2 nya.
Syafiie (2013: 303) bercerita kembali lagi kilas riwayat keadaan rapat PPKI. Sesudah istirahat di pertemuan PPKI pas jam 15.15 WIB rapat diawali dan langsung pilih untuk kedudukan presiden dan wapres untuk Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang waktu itu tidak sempat untuk lakukan penyeleksian umum, karena itu pada akhirnya Otto Iskandardinata ajukan saran jika Presiden dan Wakil Presiden Indonesa ialah Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta. Penyeleksian secara aklamasi ini disetujui oleh semua peserta rapat PPKI dan pada akhirnya Soekarno jadi Presiden dipilih RI pertama.
Sistem pemerintahan Indonesia yang berpedoman presidensial waktu itu belum terwujud secara baik dan secara utuh merepresentasikan rakyat Indonesia. Ini ditunjukkan belum ada instansi legislatif spesial DPR yang pada waktu itu masih pada proses pembangunan lembaga-lembaga di Indonesia.
Sepanjang empat tahun mekanisme pemerintah Indonesia terkungkung oleh masalah persaingan perebutan daerah di Indonesia sendiri. Banyak perlawanan oleh masyarakat negara Indonesia, dari ulai APRA, RMS dan DI/TII. Beberapa hal seperti itu yang diurusi dan diatasi oleh pemerintah Indonesia pada waktu itu.
Mekanisme pemerintah presidensial yang notabene-nya memberi wewenang untuk presiden dalam soal perumusan peraturan, malahan ini tidak termonitor sebab presiden tertentu yang semakin banyak ambil peran dalam perumusan peraturan dan penentuan peraturan. Disamping itu kekuasaan eksekutif yang semestinya diputuskan oleh penyeleksian umum, hal itu belum digerakkan.
Dan semestinya ada kekuasaan mutlak yang tepisah di antara eksekutif dan legislatif tetapi di saat awalnya berdirinya di Indonesia implementasi mekanisme ini masih terpincang-pincang. Sampai sampai juga pada tanggal 27 Desember 1949, pada tahun itu dirumuskan kembali lagi mekanisme pemerintah Indonesia, dengan menimbang keadaan sosial dan politik yang berada di Indonesia.
Sistem Pemerintahan Indonesia dengan Konstitusi Republik Indonesia Serikat (27 Desember 1949-17 Agustus 1950)
Background tersedianya perumusan kembali lagi berkaitan dengan sistem pemerintahan Indonesia ialah lepasnya daerah-daerah RI ke tangan penjajah yaitu Belanda. Ini jadi bahan penilaian sebab tidak ada mekanisme otonomi spesial untuk mengurusi dan meningkatkan wilayahnya sendiri.
Karena itu munculah sesuatu negara di mana Indonesia tidak akan jadi negara kesatuan tetapi beralih menjadi "negara federasi" atau "serikat". Wujud kuasa dan kekuasaan politik dan pemerintah dan keamanan ditransfer sepenuhnya ke daerah-daerah di Indonesia. Oleh karena itu di saat wujud negara Indonesia berpedoman wujud negara federasi mekanisme pemerintah ikut alami perubahan, nilai-nilai mekanisme parlmenter mulai masuk dan jadikan indonesia lebih liberal pada waktu itu.
Tetapi kerusuhan berlangsung saat seutuhnya pemerintahan pusat mewakilkan wewenang keamanan dan politik, banyak berlangsung perlawanan di Indonesia. DI/TII benar-benar populer pada waktu itu lakukan perlawanan untuk mengubah RI jadi Negara Islam. Kebebasan memiliki pendapat, kelarkspresi dan memakai senjata pada tingkat/tingkat pemerintah wilayah jadikan daerah-daerah Indonesia semakin nyaman dalam mendesak pemerintah pusat.
Soemantri (2003: 23) menjelaskan jika kebutuhan-kepentingan politik untuk mengubah wujud pemerintah dan mekanisme pemerintah misalkan komunis benar-benar berkembang dan benar-benar dikasih kelonggaran. Kerusuhan dan persaingan perebutan kekuasaan ditingkat wilayah lagi berlangsung pada waktu itu, sampai sampai juga pada mekanisme pemerintah Indonesia dengan merujuk pada Undang-Undang Landasan Sesaat 1950, mana yang ini lebih mengutamakan proses pengalihan dari wujud Indonesia Serikat kembali lagi ke Negara Kesatuan.
Sistem Pemerintah Indonesia dengan UUDS 1950 (17 Agustus 1950-5 juli 1959)
Undang-Undang Sesaat tahun 1950 adalah wujud representasi jika negara Indonesia mengalami kerusuhan politik. Mekanisme pemerintah dalam sektor politik yang diyakini juga kembali lagi berbeda. Pada waktu itu, menurut Utama (2014: 15), Demokrasi Parlementer mulai diaplikasikan di Indonesia.
Mekanisme parlementer ini memutuskan jika kabinet-kabinet dan beberapa menteri bertanggungjawab ke parlemen, atau bila di Indonesia ialah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Ini berlangsung supaya proses cek and balance berlangsung.
Dalam mekanisme kabinet juga parlementer diputuskan mellaui mekanisme voting yang dipakai dalam penyeleksian umum. Rakyat memiliki hak mengekspresikan hak untuk ikut dalam berpolitik dan mengekspresikan bermacam-macam kekesalan pada pemerintahan, misalkan berbentuk demo.
Pada waktu itu juga, perubahan cepat dalam suprastruktur dan infrastruktur politik bergerak dengan cepat. Ada parpol mengisyaratkan jika roda demokrasi di Indonesia berjalan, mekanisme multipartai yang diyakini buka ke siapa saja untuk membuat dan mengangkat dari partainya yang mempunyai bermacam jenis kelompok dan sikap politik yang lain.
Meskipun lebih mengutamakan ke demokrasi parlementer, tetap pada waktu itu Indonesia berdasarkan ke UUD 1945 yang asli, mempunyai mekanisme kabiner presidensial, yang berarti kekuasaan paling tinggi dalam ambil keputusan ialah pada tangan Presiden.
Syafiie (2013: 299) menerangkan jika pada tahun 1949 sampai tahun 1959 adalah tahun di mana pecahnya "dwi tunggal" Indonesia, di mana Moh. Hatta tidak setuju pada ketiranian eksekutif. Persaingan perebutan cuman berlangsung ditingkat kabinet di mana partai-partai politik yang pada waktu itu benar-benar kuat yaitu PNI dan Masyumi berganti-gantian pimpin kabinet. Tiap tahun berlangsung penggantian kabinet, di mana dalam sejarahnya tidak ada yang berusia panjang dalam kabinet Soekarno.
Ini memunculkan keadaaan sosial dan politik yang tidak konstan, kecuali Soekarno terus-terusan menggalakkan jalinan kerja sama internasionalnya, keadaan dalam negara semakin tersuruk. Kabinet Natsir yang paling awal memegang pada waktu itu hadapi dengan permasalahan sulit yang semakin tahun makin menggalakkan perlawanannya ke pemerintahan. Permasalahan dalam keamanan negeri, seperti Pergerakan DI/TII, Pergerakan Andi Azis, Pergerakan APRA, dan Pergerakan RMS.
Pada dasarnya UUDS 1950, adalah representasi dari kemauan tiap daerah untuk tentukan sikap dan penglihatannya berdasar kebebasan yang paling bebas-sebebasnya. Syafiie (2013: 307) menyampaikan gagasannya berkaitan hal tersebut, jika UUDS 1950 dibikin supaya negara Indonesia menjadi lagi negara kesatuan tetapi konstitusi pada waktu itu menginginkan otonom wilayah selebar-luasnya.
Bila dilihat lebih dalam sesungguhnya Soekarno menyiapkan kembali lagi peralihan dari Indonesia yang wujud negaranya federasi ke arah negara kesatuan kembali lagi. Dengan gejolak keadaan dalam negri, dan dengan 7 kabinet yang serupa sekali tetap tidak dapat menjawab rintangan dalam negri sendiri Soekarno pada waktu itu keluarkan Dekrit Presiden sebagai jalan akhir Soekarno memakai kekuasaan mutlaknya selaku presiden untuk menjawab seluruh rintangan dan kendala dan masalah dalam negeri.
Seperti namanya, Undang-Undang Landasan Sesaat cuman memiliki sifat sebentar. Sesungguhnya dalam periode pengalihan UUDS berperan selaku penyiapan konstituante selaku pembentuk Undang-Undang Landasan yang semestinya selekasnya memutuskan Undang-Undang Landasan Republik Indonesa yang akan gantikan UUDS ini, ketetapan itu yang selanjutnya ditranslate jika UUDS adalah proses pengalihan dan pematangan konstitusi Indonesia dan wujud negara Indonesia jadi wujud kesatuan kembali lagi.
![]() |
perumusan sistem pemerintahan indonesia |
Periode Berlaku Kembali lagi UUD 1945 Lewat Dekrit Presiden 5 Juli 1959
Sama seperti yang sudah diterangkan awalnya jika UUDS adalah konstitusi yang karakternya sesaat sekalian menanti team konstituante menyelesaikan bermacam jenis ide dan kepastian dari konstitusi Indonesia. Tetapi sesudah 2 tahun menanti kejelasan hasil dari pembangunan konstituante hal itu belum juga diindahkan dan digerakkan.
Sedang keadaan warga Indonesia pada waktu itu sangat karut-marut.
Riwayat menulis jika penyeleksian anggota konstituante dikerjakan di bulan Desember 1955 dan pada tanggal 10 November 1956 adalah hari pengukuhan team konstituante.
Presiden Soekarno waktu itu mengharap jika team berikut yang akan merangkum Undang-Undang Landasan baru yang lebih berkaitan dan dapat digerakkan dan dipahami oleh semua masyarakat negara Indonesia.
Tapi sama seperti yang sudah disebutkan diawalnya sampai pada dua tahun efektivitas pembangunan team konstituante usai dengan percuma. Meskipun sesungguhnya telah terwujud persetujuan berkenaan mekanisme pemerintah, hak asasi, dan beberapa hal yang lain.
Keadaan politik dan mekanisme multipartai dengan pergolakan dan semangat baru demokrasi bawa ke kekecauan politik di mana seluruh masyarakat negara berkompetisi untuk perjuangkan ideologi yang paling betul menurut dia. Sama seperti yang disebutkan Utama (2014:18) jika pada waktu itu, ada 35 fraksi pada tubuh konstituante.
Ini memunculkan kemarahan tertentu dari Soekarno, sesudah kejadian terpecahnya dwi tunggal Indonesia. Soekarno memakai hak dan kekuasaan paling tinggi selaku presiden yaitu memakai dekrit presiden, di mana dekrit dapat dipakai dalam kondisi dan situasi politik yang paling darurat.
Berikut isi dekrit presiden (dalam Utama, 2014: 18)
1. Pembubaran Konstituante
2. Berlakunya kembali lagi Undang-Undang Landasan 1945 untuk seluruh Bangsa Indonesia dan semua tumpah darah Indonesia, terhitung awal hari anggal penentuan Dekrit ini, dan tidak berlaku kembali Undang-Undang Landasan Sebentar.
3. Pembentukan Majelis Permusyawartan Rakyat Sesaat dan Dewan Alasan Agung Sesaat dalam saat yang sesingkat-singkatnya.
Adanya dekrit presiden, karena itu pada waktu itu pulalah negara Indonesia kembali lagi dengan wujud pemerintahannya yaitu presidensial dan wujud negara kesatuan. Tidak adalagi mekanisme federasi yang dipakai, tetapi kemudian wujud negara kesatuan lah yang dipakai.
Karena itu dengan dibubarkannya team konstituante, terjadi kekosongan dalam peranan dan fungsi legislatif di Indonesia, berdasar pada ketentuan presiden, Soekarno membentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat pada waktu itu supaya tidak ada kekosongan pemerintah dan pekerjaan inti legislatif masih jalan.
Syafiie (2013) menyampaikan jika perombakan fundamental berkaitan adanya dekrit presiden ialah sistem pemerintahan parlementer yang selanjutnya parlemnter mempunyai wewenang spesial dan benar-benar kuat, yang dapat mengusung perdana mentri dan jatuhkan pemerintah dengan mosi tidak yakin kembali lagi ke sistem pemerintahan presidensial mana yang presiden mempunyai wewenang penuh atas jalannya pemerintahan, dan presiden menggenggam penuh atas kepala kepala negara dan pemerintah.
Tidak lagi ada arti perdana mentri, yang ada ialah presiden pimpinan besar Negara Kesatuan Republik Indonesia. Seluruh mekanisme dan tersentralkan ke presiden dan beberapa hal lain dalam pengertian laporan pertanggung jawaban sekarang kembali lagi ke presiden Indonesia dan harus disampaikan ke legislatif.
Pada saat-saat peralihan yang digerakkan pemerintah Soekarno teradapat kesusahan-kesulitan dan masih tetap berlangsung kepincangan, semestinya MPR yang sudah dibuat tidak dapat langsung memakai pekerjaan dasar dan manfaatnya sebab perlu ditata ulangi dan dipertegas kembali lagi status MPR.
Sistem Pemerintahan Menurut UUD 1945 Saat sebelum Amandemen UUD 1945
Amandemen Undang-Undang Landasan Negara Republik Indonesia terjadi sekitar empat kali. Tahun 1960 sistem pemerintahan dan wujud pemerintah menjadi lagi mekanisme presidensial dan kesatuan. Ada beberapa perombakan yang fundamental dengan sudah dihapuskannya mekanisme demokrasi parlementer di Indonesia pada waktu itu, salah satunya ialah pembangunan Majelis Pembicaraan Rakyat.
Merujuk pada Pasal 1 ayat 2 yaitu berkaitan dengan isi dari kedaulatan rakyat Indonesia salah satunya jika Kedaulatan ialah pada tangan rakyat, dan dikerjakan seutuhnya oleh Majelis Pembicaraan Rakyat selaku penjelmaan semua rakyat Indonesia. MPR ini memutuskan UUD dan Garis-Garis Besar Haluan Negara.
MPR bekerja mengusung Kepala Negara (Presiden) dan wakil Kepala Negara (Wakil Presiden). MPR menggenggam kekuasaan paling tinggi, sedang Presiden harus jalankan haluan negara menurut garis-garis besar yang sudah diputuskan oleh MPR. Presiden yanng diangkat oleh MPR, bertunduk dan bertanggungjawab ke MPR.
Ini memberikan jika kuasa seorang presiden bakal ada batasannya, penetapannya ialah oleh MPR, yang mempunyai wewenang untuk memberi penghentian secara tidak hormat dan memberi mosi tidak yakin atas pidato pertanggung jawabnya pada presiden. Bila mosi ini dipakai karena itu eksekutif secara automatis harus ditukar oleh substitusinya yang baru.
Majelis Permusyawaratan Rakyat secara tidak langsung sebagai instansi negara paling tinggi dan paling besar yang dipunyai oleh Indonesia. MPR tidak dapat berdiri dengan sendiri karena itu dibentuklah tubuh-badan spesial yang tangani beban atau beberapa masalah spesial salah satunya ialah DPR, DPA, MA dan BPK. Otomatis juga Presiden kuasanya di bawah MPR itu sendiri.
Pekerjaan dasar dan peranan berkaitan dengan beberapa fungsi instansi negara yang dalam masalah ini dibawahi oleh MPR sudah tertera semua di dalam UUD 1945 dengan penyempurnaan pasal-pasal baru berkaitan dengan pekerjaan dasar dan peranan instansi negara.
Diaplikasikannya kembali lagi UUD 1945 sesungguhnya memberikan indikasi jika sistem pemerintahan Indonesia tidak lain ialah dari hasil kombinasi di antara parlementer dan presidensial, ini benar-benar nampak di mana tidak ada pembagian kekuasaan secara keras pada peranan eksekutif dan legislatif ke-2 nya masih sama-sama membutuhkan.
Tetapi kenyataan yang berlangsung dari tahun 1960-1965, Syafiie memvisualisasikan jika dari sisi pemerintah Soekarno makin melakukan tindakan tirani dalam soal ambil keputusan untuk merangkum peraturannya, bisa dibuktikan adanya Manipol USDEK atau Manivesto Politik dengan Undang-Undangn 1945, Sosialsme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, dan Kesejahteraan Rakyat.
Demokrasi terpimpin yang digerakkan oleh Soekarno ialah wujud pemerintah yang memprioritaskan permufakatan mufakat tetapi kekuasaan tertuju pada satu pucuk pimpinan sentra, yaitu presiden. Periode ini sampai saat ini disebutkan dengan Orde Lama. Di mana seluruh tipe dan mode pemerintah dan wujud pemerintah dicoba untuk digerakkan supaya berlangsungnya kesejahteraan rakyat.
Utama (2014: 24) mengatakan tahun 1966 momen politik baru berlangsung di Indonesia dengan adanaya MPR kuasa presiden tidak akan sama, karena itu pidato yang dengan judul Nawaksara yang dibawa oleh Presiden Soekarno ditampik oleh MPR. Ini memberi imbas harus lengsernya Soekarno selaku Presiden Indonesia.
Dengan ditampiknya pemerintah Soekarno munculah pola dan skenario pemerintah yang berlagak demokrasi parlementer, demokrasi presidensial yang sesungguhnya ialah tirani politik tiada henti.
Penampikan pidato pertanggungjawaban presiden pada waktu itu tidak lepas dari sisi keadaan sosial dan politik, Presiden Soekarno didakwa sudah mengkhianati Pancasila dan sudah bekerja bersama dengan PKI untuk mengganti azas dan landasan Negara Kesatuan Republik Indonesia jadi negara yang berasaskan komunis.
Berlangsung gejolak politik pada tubuh pemerintah Indonesia, ada kup yang lembut dan halus dari Soehato dalam jalinan Jendral Nasution dan Soekarno membuat melengserkan Soekarno dengan mudah. Soekarno sampai di akhir hayatnya menggenggam tuntunan tegar Nasakomnya, sebab ia percaya dan yakin nasionalis, komunis dan islam dapat dipadukan jadi satu kesatuan tuntunan yang dapat sama-sama memperkuat.
Di bawah Pemerintahan Soeharto pemerintah Indonesia benar-benar menunjukkan ketiranian, meskipun ada instansi negara yang mengatur ada pengawas pemerintahan tetapi semua dikalahkan oleh Soeharto denga langkah menyimpan orang-orangnya di tiap instansi negara jadi Soeharto sampai pada 32 tahun tidak tergoyahkan kepimpinannya (Syafiie, 2013: 315).
Peranan MPR di bawah pemerintahan Soeharto dibikin jadi dua utusan kelompok, pertama ialah dari DPR yang pada waktu itu masihlah ada fraksi TNI/POLRI dan satunya ialah utusan utusan kelompok dan wilayah.
Meskipun diselenggarakan pemilu, tetapi pada waktu itu yang berkuasa penuh ialah partai Kelompok Kreasi, hingga pada waktu itu pemerintahan memiliki nuansa tirani. Taktik pemenangan Soeharto dari tahun 1966-1998 ialah dengan menjaga utusan wilayah yang diambil dari beberapa Gubernur yang diangkat Soeharto, panglima yang diangkat Soeharto, beberapa utusan Kelompok kreasi yang dipegang oleh Soeharto selaku ketua dewan pembimbingnya, seputar 50% lebih suara ada pada tubuh MPR, itu kunci kemenangan Soeharto berulang-kali (Syafiie, 2013: 315).
Sampai di titik pucuknya yaitu 1998, Soeharto tidak dapat kembali masih melanggengkan kekuasaan, demo karena ada kritis moneter menggerakan seluruh gerakan mahasiswa dan seluruh organ mahasiswa untuk turun kejalan melengserkan kekuasaan mutlak dari Seoharto, pada akhirnya pada waktu itu Soeharto lengser.
Pada pokok simpulannya ialah jika mekanisme pemerintah saat sebelum amandemen belum juga terpusat penuh, saat kita menyebutkan jika mekanisme pemerintah Indonesia pada waktu itu ialah mekanisme presidensial, tetapi karakternya memberikan hal tersebut semi presidensial, atau kombinasi ini nampak dari aturan-aturan pasal yang dimuat di UUD 1945 saat sebelum amandemen salah satunya:
Pasal 4 ayat 1 yang menerangkan jika presiden menggenggam kekuasaan pemerintahan dan kepala negara tidak disebut secara detil dibatang badan UUD 1945. Pasal 1 ayat 2 dalam UUD 1945 menerangkan jika kedaulatan mutlak seutuhnya ditangan rakyat tetapi kenyataan yang berlangsung ialah dominasi instansi yang sebagai wakil rakyat.
Ini memberikan jika watak mekanisme pemerintah parlementer sebab kedaulatan rakyat dikerjakan oleh MPR yang disebut representasi dari warga Indonesia dan seterusnya MPR membagikan wewenangnya pada MA, DPR, Presiden dan BPK. Bermakna ini menunjukkan kekuasaan presiden tidak langsung.
Pasal 6 ayat 2 dalam UUD 1945 Presiden dan Wakil Presiden diputuskan oleh MPR. Ini memberikan jika mekanisme kita memakai parlmenter. Tidak seperti Amerika yang penyeleksiannya dikerjakan langsung oleh rakyat.
Presiden di sini harus juga bertanggungjawab ke MPR. Dalam mekanisme pemerintah presidensial Presiden tidak bertanggungjawab ke parlemen tapi bertanggungjawab langsung ke rakyat. Ketetapan pertanggung jawaban Presiden ke MPR dan bukan langsung ke rakyat adalah watak mekanisme pemerintah parlementer.
Paling akhir ialah tidak ada ketetapan yang pasti di antara ekskutif dan legislatif secara tegas. Kita dapat saksikan di Pasal 5 Ayat (2) yang mengatakan jika Presiden menggenggam kekuasaan membuat undang-undang dengan kesepakatan DPR dan terkait dengan pasal itu yakni Pasal 20 Ayat (1) Masing-masing undang-undang mengkehendaki kesepakatan DPR.
Dari pasal ini bisa disimpulakn jika UUD 1945 tidak berpedoman memahami pembelahan kekuasaan (separation of power) seperti pada mekanisme pemerintah presidensial tetapi berpedoman konsep pembagian kekuasaan (distribution of power) seperti pada mekanisme parlementer.
Demikian riset yang mencoba disaksikan saat kita mengarah ke ketentuan UUD saat sebelum ada amandemen, klasifikasi, karakter dan ketentuan yang ada belum juga tahu terukur dalam mekanisme pemerintahannya, sering wujud negara kita tidak dapat terukur dan termonitor.
Sistem Pemerintahan Indonesia sesudah amandemen UUD 1945
Soemantri (2003: 25) menerangkan amandemen Undang-Undang Landasan Negara Republik Indonesia sudah dikerjakan sekitar 4x, yaitu tahun 1999, 2000, 2001 dan 2002. Hasil dari amandemen itu karena itu berlangsung perombakan-perubahan fundamental yaitu berkaitan dengan instansi negara. Bila saat sebelum amandemen masih ada utusan kelompok dan wilayah dan ada dewan pertimbangan agung. Sesudah amandem instansi negara itu dihapus dan ditukar oleh Dewan Perwakilan Wilayah dan Mahkamah Konstitusi.
Hal fundemental yang dapat kita saksikan perombakannya ialah berkaitan dengan kekuasaan dan wewenang MPR, yang sebelumnya dapat jatuhkan pemerintah kesempatan ini dominasi paling tinggi berada di tangan rakyat langsung membuka diwakilkan oleh MPR. Hingga sampai ini hari juga instansi negara MPR tidak akan berperan secara maksimal. Performa MPR ditanyakan sebab tidak akan pekerjaan sentra yang diemban oleh MPR.
Berkaitan dengan mekanisme pemerintah yang diaplikasikan sesudah ada amandemen, Indonesia makin percaya dan yakin jika sistem pemerintahannya ialah presdiensial. Keraguan-keraguan saat sebelum ada amandemen dalam sistem pemerintah dicoba untuk diperpecahkan bersama dengana ada amanden.
Soemantri (2003: 23) mengutarakan jika sesudah ada UUD dari hasil amandemen, Presiden dan Wakil Presiden sekarang diputuskan langsung oleh rakyat, tidak ada satu juga yang dapat jatuhkan presiden dalam cakupan instansi negara terkecuali rakyat tersebut, selanjutnya presiden memiliki hak mengankat dan menghentikan mentri-mentri atas opsinya sendiri.
Dan kuasa presiden dalam soal alasan UU juga sekarang tidak akan begitu menguasai ini memberikan ada sistem presidensiil yang riil, pasal 20 ayat 5 mengatakan jika perancangan Undang-Undang tidak ditetapkan dalam waktu 30 hari karena itu undang-undang itu tetap berjalan.
Sama seperti dengan instansi negara, dahulu tidak ada arti instansi negara tetapi saat ini instansi negara DPR, BPK, Presiden, DPD, MA dan MK dan Komisi Yudisial mempunyai wewenang spesial tersendiri.
Ini memberikan jika mekanisme pemerintah Indonesia sesudah amandemen lebih rapi dan terancang secara kelembagaan, oleh karena itu sistem pemerintahan indonesia paska amandemen lebih detil ke mekanisme pemerintah presidensial sebab menurut Soemantri (2003:34): Kepala negara dan Kepala pemerintahan digenggam oleh Presiden; Presiden bertanggungjawab langsung ke rakyat; Rakyat memutuskan secara langsung Presiden dan Wakil Presiden; Tidak bisa dijatuhkan oleh instansi negara; Tidak memprioritaskan azas pembelahan kekuasaan tetapi memprioritaskan azas pembagian kekuasaan; Beberapa mentri bertanggungjawab ke Presiden
Dari 6 hal itu bisa kita simpulkan jika sistem pemerintahan Indonesia ialah sistem presidensial sebab eksekutif dan legislatif mempunyai pekerjaan dan peranan yang mengharuskan di antara ke-2 nya untuk sama-sama memantau. Syafiie (2013:73) menerangkan jika checking power with power adalah keunikan mutlak yang perlu dipunyai oleh pengikut mekanisme presidensial.
Referensi
Pojokwacana.com